Parigi, Sulawesi Tengah – “Selama mengajar, kami tidak dibayar sepeserpun,” ujar Ahmad, seorang guru ngaji yang telah puluhan tahun mendedikasikan hidupnya untuk mendidik anak-anak di Parigi, Sulawesi Tengah. Ahmad bukan satu-satunya. Di banyak daerah terpencil di Indonesia, para guru ngaji berjuang dalam kesunyian, mendidik generasi muda tanpa mengharapkan imbalan finansial. Mereka mengajarkan baca tulis Al-Quran dan ilmu agama, meski kondisi ekonomi mereka sendiri jauh dari kata sejahtera.
Survei yang dilakukan oleh INSANI mengungkapkan bahwa cerita seperti Ahmad bukanlah cerita tunggal. Puluhan guru ngaji dari berbagai daerah seperti Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Lampung, Jawa Timur, hingga Sumatera Utara berbagi pengalaman yang serupa. Minimnya gaji, kurangnya fasilitas, dan ketidakteraturan dukungan menjadi tantangan utama mereka dalam menjalankan misi pendidikan agama.
Ironisnya, di tengah era digital dan kemajuan teknologi, perhatian terhadap guru-guru ngaji ini justru semakin berkurang. Mereka yang mengajarkan Al-Quran—bukan hanya sekadar lafadznya, tetapi juga nilai-nilai moral dan etika yang terkandung di dalamnya—seringkali terabaikan. Di balik keberhasilan seorang anak yang bisa menghafal Al-Quran atau memahami ajaran agama, ada peran besar seorang guru ngaji yang bekerja dalam keterbatasan.
Di tengah tantangan yang dihadapi, ada pula kisah inspiratif yang datang dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Rubianzah, Hanif, dan Devra, tiga mahasiswa S1 yang memutuskan untuk mengabdikan waktu luang mereka demi mengajar anak-anak membaca Al-Quran di Masjid Kamirejo, Kecamatan Sedayu Karanglo Argomulyo. Meski belum menjadi guru profesional, mereka telah menunjukkan betapa pentingnya semangat pengabdian bagi masyarakat sekitar.
Namun, semangat seperti ini seringkali tidak cukup. Kondisi fasilitas mengaji di berbagai daerah, terutama di pelosok, jauh dari kata layak. Kekurangan iqra, mushaf Al-Quran, meja belajar, hingga ruang yang tidak memadai menjadi penghalang dalam proses pendidikan. Para guru ngaji ini harus berjuang ekstra, mengandalkan keterbatasan yang ada untuk tetap memberikan yang terbaik bagi anak-anak didik mereka.
Sementara itu, di banyak masjid besar di perkotaan, kita mungkin tak lagi asing dengan fasilitas yang lengkap dan modern. Kontras dengan keadaan ini, guru-guru ngaji di pelosok tetap berusaha keras menjalankan tugasnya, walau dengan fasilitas seadanya. Mereka tidak hanya memakmurkan masjid, tetapi juga menjalankan tugas mulia: mencetak generasi muda yang berakhlak mulia dan berilmu.
Program “Muliakan Guru Ngaji” yang digagas oleh Insani Indonesia adalah upaya untuk memberikan penghargaan yang layak bagi para guru ngaji. Program ini hadir sebagai bentuk apresiasi bagi mereka yang telah berjasa besar dalam mencerdaskan anak bangsa, khususnya dalam hal pendidikan agama. Melalui program ini, diharapkan para guru ngaji dapat terus menjalankan tugas mereka dengan lebih tenang dan nyaman.
Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya” (HR. Bukhari). Ini adalah penghargaan tertinggi bagi para guru ngaji yang telah berusaha tanpa pamrih, mencurahkan seluruh tenaga dan waktunya demi membentuk generasi yang cinta Al-Quran. Namun, penghargaan ini belum cukup jika tidak diiringi dengan dukungan nyata dari masyarakat.
Ketika kita mendengar kisah-kisah perjuangan para guru ngaji, ada satu hal yang selalu terasa: ketulusan. Mereka yang mengajar tanpa imbalan, tanpa fasilitas, dan tanpa pengakuan luas dari masyarakat, adalah pahlawan sejati yang tak butuh sanjungan. Namun, bukankah sudah waktunya kita memberikan perhatian lebih kepada mereka yang berada di garda terdepan dalam mencetak generasi Qurani?
Di tengah segala keterbatasan yang mereka hadapi, para guru ngaji ini tetap teguh. Mereka percaya bahwa ilmu yang mereka ajarkan akan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir, sebagaimana ilmu yang bermanfaat tidak akan pernah habis meski waktu terus berjalan.