Fatwa Hukum Jual dan Beli dengan Akad Angsuran

Uang Pinjaman (Gambar : oleh Raten-Kauf dari Pixabay)

Apa itu Fatwa ?


Menurut Imam Ibnu Mandzur di dalam lisan al-arab menyatakan, Aftaahu Fi Al-Amr Abaanahu Lahu (menyampaikan fatwa kepada dia pada suatu perkara, maksudnya adalah menjelaskan perkara tersebut kepadanya). Wa Aftaa Al-Rajulu Fi Al-Mas’alah (seorang laki-laki menyampaikan fatwa pada suatu masalah). Wa Astaftainuhu Fiiha Fa Aftaaniy Iftaa’an Wa Futaa (aku meminta fatwa kepadanya dalam masalah tersebut, dan dia memberikan kepadaku sebuah fatwa)”.


Mayoritas ulama mendefinisikan fatwa seperti itu, walaupun dengan redaksi yang berbeda-beda. Tapi yang terpenting adalah bahwa fatwa itu tidak lahir sendiri, fatwa muncul karena ada pertanyaan yang berkembang. Fatwa berfungsi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar syariah agar menjadi jelas dan tidak menjadi bias.


Orang yang berfatwa dalam bahasa Arab disebut dengan “Mufti”, dan yang meminta fatwa disebut dengan “Mustafti”. Mufti ialah orang yang sangat berkompeten dalam bidang syariah, ia menguasai dan sangat mendalami nash-nash syariah serta madlul syar’i-nya. Kalau bukan seorang ulama, tidaklah bisa ia mengeluarkan sebuah fatwa, karena fatwa itu produk syariat yang dihasilkan dari intrepetasi nash-nash syari’i.


Berikut adalah fatwa Syekh Ramadhan Al-Buthi tentang transaksi bisnis secara angsuran:

السؤال : 


 فضيلة الشيخ كما تعلمون الاختلاف في الفتيا في بيع التقسيط، لكن هناك قول لابن عباس أورده ابن تيمية في الفتاوى ومفاده : أنه إذا قومت السلعة فبيعت في الحال فليس هناك بأس، لكن إذا أجلت فيعتبر غير جائز، فما هو رأيكم ؟

 

Pertanyaan: Syekh yang mulia, sebagaimana yang anda ketahui, terdapat perbedaan fatwa tentang hukum jual dan beli secara angsuran. Namun terdapat ungkapan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang dilansirkan di dalam fatwanya Syekh Ibnu Taymiyah yang berbunyi: “Jika komoditi (barang dagangan) itu dijual secara langsung maka tidak apa-apa, namun bila ada penangguhan dalam waktu tertentu maka transaksi tersebut tidak dibenarkan.” Bagaimana pendapat Syekh tentang ini? 


: الجواب 


الصواب : أن بيع التقسيط ليس فيه خلاف، إذا باع سلعة بأقساط إلى آجال معلومة ليس في هذا خلاف، وقد باع أصحاب بريرة بريرة، باعوها بأقساط في عهد النبي ﷺ فأقرهم، باعوها بثمن مقسط على عشر سنين كل سنة أربعين درهم، يعني أوقية أوقية كل سنة وهي أربعون درهمًا، وما أنكر النبي عليهم بيعها بالتقسيط، فالبيع بالتقسيط .. للتجارة عشرين ألف كل سنة أو كل شهر ألف، أو كل شهر مائة لا حرج في ذلك إذا كان أقساطًا معلومة.


لكن بعض أهل العلم قال: إذا قوَّمها قال تساوي كذا ألفًا نقدًا، وبألف ومائة إلى أجل أن هذا يشبه الربا، ولكن الصحيح أن هذا ليس ربا وليس فيه شيء، لأنه يقول له إن كنت تشتريها الآن بالنقد فالثمن كذا، وإن كنت تشتريها بالآجل فالثمن كذا، فإذا قطعه على شيء معلوم قطعه بالمعجل فلا بأس، أو قطعه بالمؤجل فلا بأس، لكن لا يتفرقان إلا وقد قطعا على شيء معلوم فلا بأس في ذلك


Jawaban: Pandangan yang benar adalah  hukum penjualan secara angsuran tidak mengapa, jika dia menjual komoditas dengan cicilan untuk jangka waktu tertentu, tidak ada perselisihan dalam hal ini. Peristiwa serupa pernah terjadi pada pedagang kaya dari kalangan sahabat, ia menjual barang dagangannya secara angsuran  pada masa Nabi. Dia menjualnya dengan dicicil selama 10 tahun dengan pembayaran 40 dirham dalam setiap tahunnya. Nabi tidak mengingkari perbuatan mereka itu.

 

Tetapi sebagian ulama berkata: “Kalau dievaluasi, katanya itu bernilai 1000 (uang) saat transaksi secara tunai, dan berjumlah 1100 saat pembayaran dilakukan secara cicil, ini mirip dengan riba.” 


Pandangan yang benar adalah ini bukan riba dan tidak ada apa-apa di dalamnya, karena dia mengatakan kepadanya bahwa jika Anda membelinya sekarang dengan uang tunai maka harganya sekian, dan jika Anda membelinya secara kredit, harganya begini dan begitu. Jika dia memutuskan transaksi secara tunai, maka hal itu boleh, atau memutuskan transaksi secara angsuran, maka tidak ada yang salah dengan itu, tetapi syaratnya mereka tidak boleh menyelesaikan akad sampai mereka memilih transaksi yang mana yang akan mereka pilih, jadi tidak ada yang salah dengan itu.


Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam 


Fatwa menempati kedudukan strategis dan sangat penting, karena mufti (pemberi fatwa), sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi, berkedudukan sebagai khalifah dan pewaris Nabi SAW, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abud Daud dan Tirmidzi

bahwa “ulama merupakan pewaris para Nabi” 


Secara hakikat, fatwa menurut pandangan Ibnu Taimiyah pada dasarnya tidak terkait kepada sesuatu apapun (fatwa tidak mengenal sistem paket/sponsor) kecuali hanya mendasarkan diri pada dalil-dalil nash syari’ah (Al-Quran dan Al-Hadist) serta kaidah-kaidah yang umum (ushul fiqih dan kaidah fiqh).


Fatwa seringkali menjadi ranah para ulama ushul fiqh dalam karya-karya monumental. Dalam perspektif para ulama ushul fiqh, fatwa dimaknai sebagai pendapat yang dikemukakan mujtahid sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mustafti pada  suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Mustafti bisa bersifat individual, institusi, atau kelompok masyarakat. Produk fatwa tidak mesti diikuti oleh mustafti, karenanya fatwa tidak

memiliki daya ikat.


Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praktis bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang memang membutuhkannya. Sedangkan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang permasalahan agama yang bersifat kontemporer.

Bagikan Artikel Ini :
Scroll to Top