Kisah Dokter Gaza yang Berjuang di Tengah Krisis Kemanusiaan

Di tengah kehancuran dan blokade berkepanjangan di Jalur Gaza, layanan kesehatan tak luput menjadi korban. Dengan fasilitas terbatas dan pasien yang terus berdatangan, para dokter harus menghadapi situasi medis yang kian memburuk.

Sejak dini hari, Dr. Wissam Sukkar memulai harinya dengan berjalan kaki selama hampir satu jam menyusuri jalan-jalan Kota Gaza yang hancur untuk menuju klinik darurat Médecins Sans Frontières (MSF). Di tengah kelangkaan bahan bakar, kendaraan nyaris tak beroperasi, memaksa banyak orang berjalan jauh demi perawatan medis.

“Kami berjuang untuk tetap bertahan di Gaza utara di tengah keterbatasan ini,” ujar Dr. Sukkar.

Hanya 21 dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih berfungsi sebagian. Blokade Penjajah yang terus berlanjut telah membuat pasokan medis kian menipis. Klinik tempat Dr. Sukkar bekerja, yang dulunya adalah kantor MSF, kini menjadi tempat pelayanan bagi ratusan warga setiap harinya—kebanyakan pengungsi yang kehilangan tempat tinggal.

“Sebagian besar pasien adalah pengungsi yang tinggal di tenda-tenda dan tempat penampungan darurat. Penyakit menular menyebar dengan cepat,” ujarnya.

Pada pukul 09.30, antrean pasien telah membludak. Anak-anak dengan infeksi pernapasan, diare, luka bakar, dan gizi buruk terus berdatangan. Balita dengan wajah penuh gigitan nyamuk, bayi dengan infeksi virus, hingga korban luka akibat serangan militer menjadi pemandangan sehari-hari.

Kondisi semakin memburuk sejak serangan terhadap Rumah Sakit Al-Ahli Arab di Kota Gaza. Rumah sakit itu kini tidak lagi mampu menerima pasien akibat kerusakan parah, memaksa banyak korban untuk mencari perawatan di tempat lain, termasuk di klinik MSF.

“Kami tak tahu ke mana harus merujuk pasien. Sistem kesehatan di Gaza telah runtuh,” kata Dr. Sukkar, lelah.

Kondisi apotek klinik pun memprihatinkan. Rak-raknya nyaris kosong. Obat-obatan untuk penyakit kronis seperti diabetes dan epilepsi tak tersedia. Obat dasar seperti krim kulit dan antipiretik pun langka. Para dokter hanya bisa membagi sisa stok untuk bertahan selama mungkin.

“Kami memperkirakan stok obat hanya akan cukup untuk dua minggu ke depan,” ungkapnya.

Hari itu, Dr. Sukkar dan timnya menangani hampir 400 pasien. Saat matahari terbenam, klinik ditutup. Namun perjuangan belum berakhir. Ia masih harus menempuh perjalanan pulang panjang ke tempat pengungsian bersama keluarganya.

“Sudah sembilan kali kami mengungsi,” ucapnya lirih. “Seperti warga Gaza lainnya, saya berjuang untuk mendapatkan air bersih dan makanan bagi anak-anak saya. Kami hidup tanpa listrik, dan hampir tanpa harapan.”

Dengan suara lirih, Dr. Sukkar menutup hari panjangnya, menanti jawaban yang belum datang: Kapan perang ini akan berakhir?

Bagikan Artikel Ini :
Scroll to Top