Hujan musim dingin yang dingin melanda Gaza pada hari Rabu, menambah derita warga Palestina yang terdampak perang. Mereka yang terpaksa meninggalkan rumah, dan sekarang harus bertahan di tenda-tenda yang tergenang air akibat banjir. Situasi ini semakin memperburuk kondisi mereka yang sudah terlantar.
Aziza al-Shabrawi berjuang dengan susah payah untuk mengeluarkan air hujan dari tenda keluarganya, sambil meratapi kondisi sulit kedua anaknya yang terpapar dampak perang.
“Dua anakku menderita kedinginan, dan putriku bahkan harus bertelanjang kaki. Rasanya kita seperti pengemis,” keluh pria berusia 38 tahun tersebut. “Situasi kita terabaikan, tak ada yang perduli, dan bantuan pun tak kunjung datang.”
Seiring hujan turun semalaman, wilayah yang telah dilanda perang kembali diserang, menyebabkan tenda-tenda banyak warga terendam dan memaksa sejumlah orang tidur di bawah terpal plastik karena kekurangan tempat berlindung yang memadai.
Shabrawi sendiri termasuk dalam 1,9 juta orang yang terpaksa mengungsi selama lebih dari dua bulan akibat konflik, di mana separuh dari mereka adalah anak-anak. Banyak dari mereka melarikan diri ke Rafah di selatan sebagai respon terhadap perintah militer Israel. Situasi ini semakin menambah penderitaan mereka yang sudah mengalami kondisi sulit selama perang.
Dengan terpaksa, dia pertama-tama meninggalkan tempat tinggalnya di kamp pengungsi Jabalia utara dan berusaha mencapai kota selatan Khan Yunis. Namun, tekanan yang semakin meningkat dari pasukan Israel memaksa dia melarikan diri lebih jauh ke Rafah.
Rafah, yang terletak di dekat perbatasan Mesir, telah bertransformasi menjadi kamp pengungsi yang luas, di mana ratusan tenda didirikan menggunakan kayu dan lembaran plastik.
Bilal al-Qassas, seorang warga pengungsi lainnya, menyampaikan pengalamannya, “Kami harus menghabiskan lima hari di luar ruangan. Saat ini, tenda-tenda kami telah tergenang air karena hujan.”
Angin bertiup keras menggoncangkan struktur tenda yang rapuh, dan warga berusaha memperkuatnya dengan menambahkan terpal plastik lebih banyak.
“Kemana kita bisa mencari perlindungan? Keberlanjutan martabat kami terancam. Di mana perempuan dapat menjalankan kebutuhan fisiologisnya? Fasilitas kamar mandi pun tidak tersedia,” ucap Qassas, yang berusia 41 tahun.
“Kami mulai merindukan ketahanan dalam menghadapi cobaan. Bahkan, kami enggan untuk makan atau minum sekarang.”
Kebutuhan Yang Sangat Mendesak
Sejak tanggal 3 Desember, ribuan orang telah tiba di Rafah, seperti yang dilaporkan oleh badan kemanusiaan PBB, di mana mereka menghadapi “situasi yang sangat padat baik di dalam maupun di sekitar tempat pengungsian.”
Mereka memerlukan “pasokan makanan, air bersih, tempat tinggal, layanan kesehatan, dan perlindungan yang mendesak,” ungkap OCHA PBB dalam sebuah pernyataan.
“Dengan kurangnya toilet yang memadai, kegiatan mck di tempat terbuka meningkat, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, terutama selama periode hujan dan banjir.”
Seiring eskalasi perang, banyak penduduk Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka hanya dengan pakaian yang mereka kenakan, walaupun suhu saat itu jauh lebih hangat.
Respons militer Israel telah menyebabkan kematian lebih dari 18.600 penduduk Gaza, sebagian besar di antaranya adalah warga sipil.
Dengan perang yang telah berlangsung selama tiga bulan, banyak warga Palestina yang menceritakan kepada AFP bahwa mereka harus bertahan hidup tanpa kasur, selimut, atau barang lain yang dapat memberikan kehangatan.
Bilal Abu Bakar, yang melarikan diri dari kamp pengungsi Al-Shati di pesisir, mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki akses listrik atau internet untuk memeriksa perkiraan cuaca. “Tiba-tiba, kami terendam oleh air hujan,” ungkap pria berusia 49 tahun tersebut. “Kami hanya memiliki satu selimut untuk sembilan orang. Kami memohon untuk kebutuhan yang paling mendesak seperti, beberapa kasur, selimut, dan pakaian bagi para pengungsi.”
“Kami sudah bisa melupakan penderitaan perang, namun sekarang kami harus mengahadapi musim dingin yang membekukan. Sampai kapan ?”
Sumber : AFP