Krisis Kemanusian Di Gaza Saat Ini Kenyataan Yang Sangat Mengerikan

Serangan terus-menerus oleh Israel ke Jalur Gaza telah menyebabkan kerusakan parah pada sekolah-sekolah dan rumah sakit serta mengakibatkan hampir satu juta orang menjadi pengungsi.

Organisasi bantuan telah mengingatkan bahwa wilayah Gaza yang terkepung ini menghadapi kekurangan pasokan medis yang serius. Israel menyatakan serangan tersebut sebagai respons terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan setidaknya 1.300 warga Israel.

Akibatnya, pasokan air, listrik, dan bahan bakar terputus, menyulitkan kehidupan 2,3 juta orang. Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menggambarkan situasi di Gaza sebagai “mengerikan,” dengan warga berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan perawatan medis di rumah sakit. Israel juga telah memerintahkan 1,1 juta orang untuk pindah dari utara ke selatan Gaza, yang telah menyebabkan kepanikan dan kesengsaraan bagi puluhan ribu orang di wilayah tersebut yang menghadapi stagnasi ekonomi akibat blokade Israel selama 16 tahun.

Berikut informasi yang kami miliki tentang bagaimana serangan Israel baru-baru ini telah memperburuk kehidupan sehari-hari di Gaza:

1. Pelayanan Medis

Grup Bantuan Medis untuk Palestina (MAP) yang berbasis di Inggris telah mengungkapkan situasi krisis di rumah sakit Gaza, yang disebut sebagai “bencana,” sehubungan dengan “blokade total” yang diberlakukan oleh Israel.

Aseel Baidoun, Manajer Advokasi dan Kampanye MAP di Tepi Barat, mengatakan, “Pasokan darurat, perlengkapan trauma, dan peralatan bedah telah habis di rumah sakit dan gudang mitra kesehatan, sementara pasokan kemanusiaan masih belum bisa masuk dengan lancar. Kami juga menghadapi kekurangan darah dan ketersediaan obat yang terbatas.”

Akibat pemadaman listrik yang melanda seluruh Gaza, rumah sakit terpaksa mengandalkan generator eksternal sebagai cadangan, yang juga berisiko mati dalam beberapa jam terakhir. Situasi ini membahayakan ribuan pasien, terutama mereka yang memerlukan perawatan seperti pasien ginjal dan kanker.

Menurut Dana Kependudukan PBB, saat ini sekitar 50.000 wanita hamil di Gaza tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan karena beberapa rumah sakit telah menjadi target serangan. Bayi baru lahir yang berada dalam inkubator rumah sakit juga berisiko jika pasokan listrik terputus, seperti yang diungkapkan oleh Fabrizio Carboni, direktur regional ICRC untuk Timur Dekat dan Tengah.

Kondisi rumah sakit semakin memburuk, dan Mohamed Kandil, direktur unit gawat darurat di Rumah Sakit Nasser, menyatakan bahwa rumah sakit di Khan Younis menerima pasien baru setiap menitnya setelah aliran pasien yang terus berlanjut selama seminggu terakhir.

UNRWA melaporkan kekurangan kantong jenazah untuk orang yang meninggal, sehingga beberapa jenazah harus disimpan di truk es krim. Ashraf al-Qidra, juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, mendesak masyarakat untuk mendonorkan darah di Rumah Sakit Shifa, yang merupakan rumah sakit terbesar di wilayah Gaza. Al-Qidra menyatakan, “Jika rumah sakit berhenti beroperasi, seluruh dunia akan bertanggung jawab atas nyawa ratusan bahkan ribuan pasien yang bergantung pada layanan kami, terutama di Rumah Sakit Shifa.”

Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rumah sakit di Gaza sekarang menghadapi tekanan besar dengan banyak orang mencari perlindungan di sana. Serangan udara telah menyebabkan kerusakan langsung pada 24 fasilitas kesehatan, termasuk enam rumah sakit, dan dampaknya adalah 15 petugas kesehatan tewas, 27 lainnya terluka, dan 23 ambulans rusak.

Sementara itu, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), 23 fasilitas yang dijalankan oleh pemerintah dan LSM lainnya hanya beroperasi sebagian dan saat ini merawat sekitar 1.000 pasien setiap hari, melebihi kapasitas mereka.

Situasi sektor kesehatan di Gaza memang sudah sangat terpuruk akibat pendudukan Israel yang berlangsung selama bertahun-tahun. Bank Dunia mencatat bahwa Gaza hanya memiliki 1,3 tempat tidur rumah sakit untuk setiap 1.000 orang, sementara angka ini mencapai 3,3 tempat tidur rumah sakit per 1.000 orang di Israel.

Kekhawatiran terhadap penyebaran penyakit menular semakin meningkat seiring banyaknya orang yang berduyun-duyun ke rumah sakit. Selain itu, UNRWA melaporkan bahwa anak-anak di Gaza telah tertular penyakit cacar.

2. Makanan

Menurut UNRWA, hampir setengah juta penduduk Gaza saat ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses ke makanan karena pusat distribusi makanan telah ditutup sejak dimulainya serangan Israel pada 7 Oktober. Safwat Kahout menyatakan bahwa penduduk Gaza sekarang menghabiskan hari-hari mereka dalam upaya mencari air dan bahan makanan pokok, terutama roti dan beras.

Sebuah laporan dari OCHA yang dirilis pada hari Minggu memperingatkan bahwa hanya satu dari lima pabrik tepung terigu yang masih beroperasi, dan dengan keadaan tersebut, persediaan tepung terigu mungkin akan habis dalam waktu kurang dari seminggu.

Dampak serangan udara juga terlihat pada ternak, terutama unggas, dan lahan pertanian yang mengalami kerusakan langsung. Penutupan penyeberangan Karem Abu Salem oleh Israel, yang merupakan satu-satunya penyeberangan komersial (dikenal sebagai Kerem Shalom oleh orang Israel), telah menghentikan aliran pakan ternak untuk hewan ternak.

Para petani di Gaza tidak hanya terhalang untuk mengakses lahan mereka, tetapi pemadaman listrik juga menghambat penggunaan irigasi, mesin, peralatan inkubasi, dan pendingin yang sangat penting untuk menjaga tanaman mereka tetap hidup. Daerah selatan, seperti Khan Younis, mengalami dampak kerusakan pertanian yang paling parah.

Dengan pengungsian yang terjadi saat ini dan blokade yang berlangsung, persediaan makanan pokok seperti telur, roti, dan sayuran kini sangat terbatas, seperti yang diungkapkan oleh Euro-Med Monitor.

Di bawah kendali Israel, Gaza telah menghadapi tingkat kerawanan pangan yang tinggi. Menurut World Food Programme (WFP), 63% dari total populasi sekitar 1,84 juta orang berada dalam situasi rawan pangan.

3. Air Minum

Pasokan air minum di Gaza semakin menjadi barang langka. Safwat Kahout melaporkan bahwa banyak keluarga harus berjalan berjam-jam sambil membawa botol air untuk mencari air.

Ketika penduduk Gaza berhasil mendapatkan air, biasanya melalui vendor swasta yang mengoperasikan pabrik desalinasi dan pemurnian air berskala kecil, seringkali menggunakan energi surya. Namun, sebagian lainnya terpaksa minum air payau dari sumur pertanian, yang merupakan sumber air yang tidak aman dan memicu kekhawatiran akan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air seperti kolera, sesuai dengan OCHA.

Laporan yang telah diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir juga menunjukkan bahwa sebagian besar air minum di Gaza masih dalam kondisi tidak aman. Menurut laporan dari Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) pada bulan Juni, 96 persen air di Gaza tidak layak untuk dikonsumsi manusia, sehingga memaksa sebagian besar keluarga untuk membeli air dari pedagang kaki lima dengan harga yang tinggi. Ini merupakan beban tambahan bagi penduduk Gaza, di mana tingkat kemiskinan melibatkan hampir setiap individu, sesuai dengan data Bank Dunia.

4. Kebersihan

Pada hari Minggu, OCHA mengumumkan bahwa pabrik desalinasi air laut terakhir yang masih beroperasi di Gaza telah terpaksa ditutup karena kehabisan bahan bakar. Selain itu, fasilitas air dan sanitasi, termasuk sumur-sumur air, waduk, dan stasiun pompa, telah mengalami kerusakan yang signifikan akibat serangan udara yang berlangsung terus-menerus.

Kondisi meningkatnya polusi air dapat memicu masalah serius dalam hal kesehatan ginjal di Jalur Gaza, di mana kasus pasien dengan gangguan ginjal telah meningkat sekitar 13-14 persen setiap tahun, menurut laporan dari Oxfam.

Israel telah melaporkan bahwa pada hari Minggu mereka melanjutkan pasokan air ke salah satu jalur yang melayani Khan Younis, yang merupakan salah satu daerah tujuan utama bagi pengungsi dari Gaza utara. Namun, para pejabat telah mengkonfirmasi bahwa air masih belum mencapai daerah Gaza selatan.

Masyarakat di Gaza menyadari bahwa langkah ini mungkin tidak akan membantu secara signifikan, mengingat pipa air penting telah hancur akibat serangan udara Israel, dan warga biasanya harus mengisi tangki mereka sendiri untuk mendapatkan air. Namun, karena kekurangan bahan bakar, mereka tidak dapat mengoperasikan truk yang diperlukan untuk mengangkut atau memompa air.

Instalasi pengolahan air limbah terakhir yang masih beroperasi di Gaza juga terpaksa ditutup pada hari Minggu, menyebabkan sejumlah besar limbah yang tidak diolah dibuang ke laut, menurut OCHA. Limbah padat juga menumpuk di jalan-jalan, menimbulkan risiko kesehatan dan dampak negatif pada lingkungan, karena sebagian besar dari 65 stasiun pompa limbah telah berhenti beroperasi karena kekurangan bahan bakar.

5. Tempat Tinggal

Tinggal di salah satu daerah terpadat di dunia, penduduk Gaza semakin terpinggirkan dalam situasi yang sulit. Akibat serangan udara oleh Israel dan perintah evakuasi, sekitar 600.000 orang telah terpaksa mengungsi ke bagian selatan Gaza. Dari jumlah tersebut, hampir 400.000 orang mencari perlindungan di tempat penampungan darurat UNRWA. Diperkirakan angka-angka ini telah meningkat secara signifikan sejak penghitungan terakhir pada tanggal 14 Oktober, dan situasi ini meningkatkan risiko penyebaran penyakit di Gaza dan sekitarnya.

Kondisi tempat penampungan sangat tidak memadai, dan banyak orang mencari perlindungan di sekolah-sekolah dan tempat-tempat umum lainnya dalam keadaan yang kacau dan kurang higienis. Menurut Muhammad Abu Salamiya dari Rumah Sakit Shifa, situasi ini dapat memicu epidemi di wilayah tersebut.

Hingga tanggal 13 Oktober, telah tercatat setidaknya 7.000 unit rumah yang hancur, sedangkan 4.887 unit lainnya menjadi tidak layak huni, menurut data dari Kementerian Pekerjaan Umum Gaza.

Banyak pengungsi tinggal di fasilitas umum atau berbagi tempat tinggal dengan keluarga angkat. Bahkan, beberapa di antaranya, termasuk individu rentan seperti wanita hamil, korban luka, dan anak-anak, terpaksa tidur di luar rumah. Situasi perumahan yang sulit di Gaza menjadi salah satu tantangan besar dalam mengatasi krisis ini.

Sumber : Al Jazeera

Scroll to Top