Selama lebih dari dua tahun terakhir, wilayah Gaza menghadapi krisis air terburuk dalam sejarahnya. Serangan bertubi-tubi yang menghancurkan infrastruktur vital membuat warga Gaza kini harus berjuang setiap hari hanya untuk mendapatkan seteguk air bersih.
Sebagian besar warga telah berpindah tempat berkali-kali demi bertahan hidup dari gempuran dan kelaparan yang terus membayangi. Namun, di tengah kesulitan mendapatkan makanan, krisis air bersih muncul sebagai penderitaan lain yang tak kalah berat.
Sebelum perang pecah, Gaza sudah lama menghadapi keterbatasan air akibat sistem distribusi yang rapuh. Kini, lebih dari 80 persen jaringan air di wilayah itu rusak, termasuk pipa utama dan sumur-sumur yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan masyarakat.
“Kadang saya merasa tubuh ini kering dari dalam. Haus yang tak tertahankan membuat saya dan anak-anak hampir tak punya tenaga,” tutur Um Nidal Abu Nahl, seorang ibu empat anak yang tinggal di Kota Gaza.
Air bersih kini menjadi barang langka. Sesekali truk air datang membagikan pasokan terbatas, atau lembaga kemanusiaan memasang keran darurat di kamp pengungsian. Namun, jumlahnya tak sebanding dengan kebutuhan jutaan warga.
Meskipun sebagian jaringan air dari Penjajah dikabarkan tersambung kembali, air belum juga mengalir ke rumah-rumah. Pihak berwenang setempat menjelaskan, banyak pipa distribusi hancur akibat serangan, sehingga aliran air terputus di berbagai wilayah.
Menurut Asem Alnabih, juru bicara Kota Gaza, sebagian besar jaringan kota yang terhubung ke sumber eksternal telah tidak berfungsi selama hampir dua pekan terakhir. Ia menggambarkan kondisi infrastruktur saat ini sebagai “sangat mengkhawatirkan.”
Kerusakan juga terjadi pada lebih dari 75 persen sumur, sementara 85 persen peralatan pekerjaan umum hancur. Sekitar 100 ribu meter saluran air dan 200 ribu meter saluran limbah tidak dapat digunakan. Ribuan ton sampah pun menumpuk di jalan-jalan karena stasiun pompa berhenti beroperasi.
Sementara itu, sebagian warga berusaha menggali air dari sumur-sumur tua atau menimba langsung dari akuifer pesisir. Namun, air tanah di Gaza terkenal payau dan kadar garamnya jauh melebihi batas aman untuk konsumsi manusia.
Laporan lembaga internasional pada tahun 2021 bahkan mencatat hampir seluruh air tanah di Gaza sudah tidak layak minum. Meski begitu, banyak warga terpaksa tetap mengonsumsinya karena tak ada pilihan lain. Para petugas kemanusiaan memperingatkan, kebiasaan itu dapat merusak fungsi ginjal dan menimbulkan penyakit serius.
Kondisi semakin diperparah dengan cuaca panas ekstrem dan terbatasnya pasokan listrik untuk menggerakkan pompa air. Pabrik-pabrik desalinasi yang biasa mengubah air laut menjadi air tawar sebagian besar tidak beroperasi. Hanya satu fasilitas yang baru aktif kembali setelah suplai listrik sempat dipulihkan sementara.
Krisis air di Gaza memang jarang menjadi sorotan utama, tetapi dampaknya tak kalah mematikan dibanding krisis pangan. Tanpa akses terhadap air bersih, ancaman penyakit dan dehidrasi terus menghantui ribuan keluarga yang masih bertahan di tengah reruntuhan kota.
“Air, sama seperti makanan, tidak boleh dijadikan alat politik,” ujar Rosalia Bollen, perwakilan UNICEF yang terlibat dalam misi kemanusiaan di Gaza. Ia menekankan bahwa kekurangan air minum di wilayah tersebut sudah mencapai tingkat yang sangat parah.
Dalam kondisi suhu tinggi dan sanitasi buruk, kata Bollen, penyebaran penyakit menjadi ancaman nyata. “Air seharusnya menjadi sumber kehidupan, bukan sumber penderitaan,” ujarnya.


