Jakarta, Kabar Insani — Islam memberi kemudahan bagi jamaah yang sedang menunaikan perjalanan jauh. Dua keringanan yang umum dipraktikkan adalah shalat jama (menggabungkan dua shalat wajib) dan shalat qasar (memendekkan rakaat). Namun, kapan seseorang boleh melakukannya? Dan bagaimana tata caranya agar sesuai syariat? Berikut penjelasan lengkapnya.
Apa Itu Shalat Jama dan Qasar?
1. Shalat Jama
Shalat jama berarti menggabungkan dua shalat wajib dalam satu waktu:
- Zuhur dengan Ashar, atau
- Maghrib dengan Isya.
Contoh: seseorang dapat melaksanakan Zuhur dan Ashar sekaligus di waktu Zuhur (jama taqdim) atau di waktu Ashar (jama takhir).
2. Shalat Qasar
Shalat qasar berarti mempersingkat shalat empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu untuk:
- Shalat Zuhur,
- Shalat Ashar,
- Shalat Isya.
Tiga shalat ini boleh diqasar, sedangkan Maghrib dan Subuh tidak boleh.
Dasar Hukum Jama dan Qasar
Allah ﷻ berfirman:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar shalat…”
(QS. An-Nisa: 101)
Rasulullah ﷺ juga bersabda dan mencontohkan langsung praktiknya. Dari Ibnu Umar ra.:
“Aku telah menyertai Rasulullah ﷺ dalam perjalanan, beliau tidak pernah menambah shalat (dalam perjalanan) lebih dari dua rakaat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Syarat-Syarat Boleh Jama dan Qasar
Agar shalat jama dan qasar sah dilakukan, perhatikan beberapa syarat berikut:
- Jarak perjalanan mencapai sekitar 80–90 km.
Mayoritas ulama menetapkan jarak ini sebagai ukuran minimal seseorang disebut musafir. - Perjalanan memiliki tujuan yang mubah.
Tidak untuk maksiat atau perbuatan dosa. - Telah keluar dari batas wilayah tempat tinggal.
Sejak melampaui batas daerah domisili, status musafir berlaku. - Tidak berniat tinggal lebih dari 4 hari di tempat tujuan.
Bila berniat tinggal lebih dari itu, maka dianggap mukim dan tidak boleh lagi mengqasar shalat.
Tata Cara Shalat Qasar
Shalat qasar dilakukan dengan memangkas rakaat shalat empat rakaat menjadi dua rakaat.
Contohnya:
- Shalat Zuhur → 2 rakaat
- Shalat Ashar → 2 rakaat
- Shalat Isya → 2 rakaat
Rukun, bacaan, dan tata tertib shalat sama seperti biasa — hanya jumlah rakaat yang dipangkas.
Tata Cara Shalat Jama
Ada dua jenis jama:
1. Jama Taqdim (Digabung di Waktu Pertama)
- Diniatkan sejak awal shalat pertama (misalnya Zuhur).
- Selesaikan shalat Zuhur, lalu langsung lanjutkan Ashar tanpa jeda panjang.
2. Jama Takhir (Digabung di Waktu Kedua)
- Niat menunda shalat pertama (misalnya Zuhur) ke waktu Ashar.
- Setelah masuk waktu Ashar, kerjakan Zuhur dulu, lalu langsung lanjut Ashar.
Bolehkah Jama Tanpa Qasar atau Sebaliknya?
Ya, boleh.
Seorang traveler bisa:
- Menjama tanpa mengqasar, jika ingin melaksanakan dua shalat dalam satu waktu dengan jumlah rakaat penuh.
- Mengqasar tanpa menjama, jika kondisi memungkinkan shalat tepat waktu tapi ingin meringankan rakaatnya.
Kapan Dianjurkan Melakukan Jama dan Qasar
Traveler dianjurkan mengambil rukhshah ini ketika:
- Dalam perjalanan panjang atau padat waktu.
- Tidak ada tempat shalat yang layak.
- Waktu shalat berdekatan dengan jadwal keberangkatan.
Namun, bila kondisi memungkinkan shalat dengan sempurna, tetap lebih utama menunaikan shalat sesuai waktunya.
Penutup: Islam Memudahkan, Bukan Memberatkan
Rukhshah jama dan qasar adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Sesungguhnya Allah menyukai jika keringanan-Nya diambil sebagaimana Dia membenci jika maksiat dilakukan.”
(HR. Ahmad)
Maka, manfaatkanlah kemudahan ini sebagai wujud ketaatan, bukan kelalaian.
FAQ: Pertanyaan Seputar Shalat Jama dan Qasar
1. Apakah shalat Subuh boleh diqasar?
Tidak boleh. Shalat Subuh tetap dua rakaat dan tidak dapat dijama dengan shalat lain.2. Bagaimana niat shalat jama dan qasar?
Cukup dalam hati, misalnya: “Saya niat shalat Zuhur dua rakaat dijama dengan Ashar karena safar.”3. Apakah jama dan qasar boleh dilakukan di rumah sebelum berangkat?
Tidak. Keringanan berlaku setelah seseorang keluar dari batas wilayah tempat tinggalnya.4. Jika tinggal lebih dari 4 hari, apakah masih boleh qasar?
Tidak. Jika sudah berniat menetap lebih dari empat hari, statusnya bukan musafir.
Refrensi :
- Kementerian Agama RI
- NU Online


