Prophetic Philantropy: Belajar Kedermawanan dari Nabi Muhammad SAW

Semasa hidup Rasulullah SAW sampai era Khulafa Ar-Rasyidin, kelahiran nabi memang tidak pernah diperingati atau dirayakan sebagaimana yang hari ini dirayakan oleh mayoritas muslim di Indonesia. Kapan pertama kali maulid nabi diperingati pun sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Sebagian kalangan meyakini peringatan maulid nabi pertama kali digagas oleh Salahuddin al Ayyubi pada tahun 1193 M. Sebagian kalangan lainnya meyakini maulid nabi pertama kali diperingati pada masa Dinasti Ubaidiyyun atau disebut pula Dinasti Fatimiyyah. 

Perayaan maulid nabi atau memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW telah menjadi hari yang istimewa bagi umat Islam di Indonesia, pasalnya maulid nabi selalu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang banyak sekali mengandung kebaikan dan manfaat, diantaranya kegiatan keagamaan, perlombaan anak-anak, atau kajian sejarah Islam. Kendati demikian, maulid nabi masih menjadi debatable atau Ikhtilaf Fiqhiyah di kalangan para ulama.

Meski masih menjadi perdebatan, namun tujuan maulid nabi pada dasarnya bukan untuk seremonial belaka. Lebih dari itu, maulid nabi menjadi momentum untuk mengingat dan meneladani ajaran hidup Nabi Muhammad SAW, sehingga umat Islam yang sedang dilanda dehidrasi teladan hidup dapat kembali sehat setelah merefleksi kehidupan nabi pada hari peringatan maulid. Meski tidak diperintahkan secara langsung oleh Al-Quran dan hadis, peringatan maulid nabi Muhammad SAW tetap relevan bagi umat muslim. 

Prophetic Philantropy

Rasulullah SAW adalah Qudwah Hasanah, suri tauladan paling terbaik dalam segala aspek. Ketika berumur 35 tahun, ia ikut bersama kaum Quraisy dalam perbaikan Ka’bah. Pada saat pemimpin-pemimpin suku Quraisy berdebat tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Muhammad dapat menyelesaikan masalah tersebut dan memberikan penyelesaian yang adil. Saat itu ia dikenal di kalangan suku-suku Arab karena sifat-sifatnya yang terpuji. Kaumnya sangat mencintainya, hingga akhirnya ia memperoleh gelar Al-Amin yang artinya “orang yang dapat dipercaya”.

Rasulullah SAW adalah orang yang percaya sepenuhnya dengan keesaan Tuhan. Ia hidup dengan cara amat sederhana dan membenci sifat-sifat tamak, angkuh dan sombong yang lazim di kalangan bangsa Arab saat itu. Ia dikenal menyayangi orang-orang miskin, janda-janda tak mampu dan anak-anak yatim serta berbagi penderitaan dengan berusaha menolong mereka. Ia juga menghindari semua kejahatan yang sudah membudaya di kalangan bangsa Arab pada masa itu seperti berjudi, meminum minuman keras, berkelakuan kasar dan lain-lain, sehingga ia dikenal sebagai As-Saadiq yang berarti “yang benar”

Sayyidah Khadijah menggambarkan lima bentuk jiwa sosial Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi nabi. Dalam kitab Shahih Al-Bukhari, disebutkan bahwa

قَالَتْ خَدِيجَةُ: كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الكَلَّ، وَتَكْسِبُ المَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ،

Khadijah berkata, “Jangan berfikir buruk begitu. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan engkau selamanya. Karena engkau tekun menyambung tali silaturahim, menanggung kesulitan orang lain, memberi pekerjaan pengangguran, menjamu tamu, dan memberi pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan pertolongan. (HR Al-Bukhari).

Alangkah indahnya bila setiap insan yang mengikuti Rasulullah SAW dapat menerapkan Filantropi Profetic yaitu bersosial ala Rasulullah SAW, jiwa yang lembut kepada anak-anak, yatim, dhuafa dan para janda dan jiwa pemaaf kepada siapapun yang telah menghina beliau,  maka tidak lain yang akan dirasakan dalam kehidupan sosial adalah kesyahduan. 

Mengasuh Zaid bin Al-Harits

Nabi digambarkan sebagai pribadi yang rela menanggung kesulitan orang lain. Seperti ketika beliau mengadopsi Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah merupakan budak yang dibeli oleh Khadijah. Ia diculik saat masih kecil dan dijual di Pasar Ukaz, dekat Mekah. Ketika Nabi menikah dengan Khadijah, Khadijah memberikan Zaid kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW muda memerdekakan Zaid. Menjadikannya sebagai anak asuh. Suatu ketika, keluarga Zaid bin Haritsah berhaji ke Mekah. Mereka mengenali Zaid, begitu pula Zaid. Keluarganya mengajak Zaid kembali kepada keluarga besarnya. Keluarga Zaid menemui Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW –dengan kebijaksanaannya, menyuruh Zaid menentukan pilihan. Tetap bersamanya atau kembali kepada keluarganya. Ternyata, Zaid memilih tetap bersama dengan Nabi. Menurut Zaid, tidak ada orang yang lebih baik dipilih kecuali Nabi. Nabi sudah menjadi ayah sekaligus ibu bagi Zaid. Keluarga Zaid tercengang dan menghardiknya sebagai anak yang tak tahu diri. Mereka sebenarnya khawatir dengan nasib Zaid ke depan yang tidak memiliki jaminan warisan dari keluarga. Lalu, Nabi berdiri dan berkata, “Wahai, hadirin! Persaksikanlah bahwa Zaid adalah anakku. Ia menjadi ahli warisku.” Lalu, keluarga Zaid tenang dan menerima keputusan Zaid. Nabi mengasuh Zaid sejak kecil dan memberikan jaminan masa depan. Menjadikan keluarga besar Zaid tenang.

Nabi Tidak Mengajarkan Ketimpangan Sosial

Seperti ketika Rasulullah Saw berada dalam sebuah majelis berkumpul bersama para sahabat, ketika itu para sahabat banyak yang datang dari golongan rendah (miskin). Seperti Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Suhaib Khabab bin Al-Arat. Mereka berpakaian sederhana, kusut dan jubah bulu yang tradisional. Meskipun demikian, merekalah sahabat setia Rasulullah dalam memperjuangkan risalah dan dakwah Islam.

Dalam majelis itu juga hadir para bangsawan. Mereka melihat para sahabat dengan tatapan kurang nyaman karena akan duduk berdekatan dengan rakyat miskin yang tidak lain merupakan sahabat Rasulullah Saw. 

Seraya berkata kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, bisakah kami mendapatkan majelis khusus bagi kami dan tidak bersama dengan rakyat miskin ini. Masyarakat Arab tahu dan mengenal kemuliaan kami. Utusan-utusan dari berbagai Kabilah Arab akan datang dalam majelis ini. Kami sebagai bangsawan merasa malu apabila mereka melihat kami duduk satu majelis dengan rakyat biasa.”

Salah seorang bangsawan menegaskan kembali, “Bau Salman al-Farisi membuatku terganggu. Buatlah majelis khusus bagi kami para bangsawan, sehingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami.” 

Sehingga turunlah Surat Al-An’am Ayat 52 :

وَلَا تَطْرُدِ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ ۗمَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِّنْ شَيْءٍ وَّمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِّنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُوْنَ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim.”

Rasulullah dengan tenang meminta sahabatnya untuk duduk lebih berdekatan lagi, merapat dengan lutut Rasulullah Saw. Beliau lalu memulai majelis dengan ucapan “Assalamu’alaikum”, seakan menjawab permintaan para bangsawan Quraisy tadi.

Semarak Maulid 

INSANI tidak ingin kehilangan peran sebagai lembaga kemanusiaan yang mengedepankan kepentingan umat dan masyarakat dhuafa, maka pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 H, INSANI akan andil peran dalam menyebarkan nilai-nilai kedermawanan Rasulullah SAW melalui program INSANI Series. Program ini akan dilaksanakan pada Sabtu, 23/10/2021 pukul 20.00-22.00 WIB, kajian maulid Nabi Muhammad SAW ini bertajuk “Filantropi Profetic” bersama  narasumber Ustadz Ahmad Musyafa, Lc. MA. dan dimoderatori oleh Muhammad Saufi. 

INSANI Series hadir sebagai bentuk tanggung jawab INSANI dalam mengedukasi masyarakat secara luas. Sebab INSANI tak hanya hadir untuk mengentaskan krisis sosial dengan menyalurkan bantuan, tetapi kami juga ingin turut andil dalam perbaikan edukasi yang punya dampak posistif di masyarakat.

Scroll to Top