Platform Transaksi Jual Beli dalam Islam

Platform Belanja Online (Gambar : oleh jcomp - www.freepik.com)
Bagikan
  1. Pendahuluan 

Dalam melakukan aktivitas jual dan beli, pelaku yang menjual dan membeli tidak akan terlepas dengan proses al-’aqdu (kesepakatan transaksi) antara ke dua belah pihak, baik transaksi berskala besar maupun kecil. 

Pada dasarnya al-’aqdu tidak hanya digunakan dalam praktik jual dan beli saja, namun terhadap semua aspek yang berkaitan dengan aktivitas mu’amalat (sosial). Al-’Aqdu memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan status hukum sebuah aktivitas mu’amalat, termasuk status sah atau batalnya jual dan beli seseorang.

Dalam aktivitas jual dan beli, ajaran Islam membagi akad ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan tentunya menuntun pelaku jual dan beli kepada rukun dan syarat sesuai ajaran Islam. 

Jenis-jenis akad dalam jual dan beli yang direkomendasikan Islam tidak jauh berbeda dengan istilah kontemporer hari ini yaitu platform. Al-’Aqdu atau platform jual dan beli telah menjadi sarana yang memudahkan transaksi jual dan beli masyarakat dalam mencapai sebuah kesepakatan.

Semua transaksi jual dan beli mengacu pada salah satu dari platform-platform yang telah tersedia. Sebelum membahasnya secara mendalam, penulis akan memaparkan gambaran umum tentang al-’aqdu secara definitif dari sudut pandang ajaran Islam dan pandangan para ilmuan Islam, agar memudahkan sahabat #inisiatorkebaikan dalam memahami penjelasan sederhana mengenai platform (jenis-jenis al-aqdu jual dan beli) dalam artikel ini. 

  1. Al-’Aqdu (Akad) 

Istilah akad berasal dari bahasa Arab yakni Al-’Aqdu. Secara bahasa kata al-‘aqdu, bentuk masdarnya adalah ‘Aqada dan jamaknya adalah al-‘Uqûd yang berarti perjanjian (yang tercatat) atau kontrak. Di dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, al-‘aqdu memiliki arti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq).

Dalam kaidah fikih, akad didefinisikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qobul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan sehingga terjadi perpindahan pemilikan dari satu pihak kepada pihak yang lain.

Adapun pengertian akad menurut istilah, ada beberapa pendapat di antaranya adalah Syekh Wahbah al-Zuhayli dalam kitabnya al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu bahwa akad adalah hubungan atau keterkaitan antara Ijab dan Qobul atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.

Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara Ijab dengan Qobul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridaan kedua belah pihak.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridaan masing-masing pihak yang melakukan akad dan memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad. 

  1. Landasan Hukum Al-’Aqdu dalam Syari’at Islam 

 Landasan hukum akad mengacu kepada firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Maidah ayat 1:  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيد

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”

Dan Allah juga berfirman dalam Q.S. An-Nisa: 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Dari dua ayat tersebut di atas menegaskan bahwa setiap muslim berkewajiban untuk menunaikan apa yang telah dijanjikan dan diakadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan. Pelaksanaan akad dalam transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan antara kedua belah pihak, atau yang diistilahkan ‘an-taradhin minkum’

 

Walaupun kerelaan tersebut merupakan sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan Qobul atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan di masyarakat sebagai serah terima merupakan bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.

  1. Jenis-Jenis Akad dalam Jual dan Beli

  1. Murabahah  (المرابحة)

Berasal dari kata ribhun, yang berarti perolehan, keuntungan, atau tambahan. Pelaksanaan jual dan beli dengan akad murabahah, yaitu penjual harus mengungkapkan biayanya pada saat transaksi berlangsung serta penetapan margin keuntungan yang disetujui.

 

Bay’ al-murabahah adalah menjual barang dengan harga yang ditetapkan di pasaran dengan tambahan keuntungan yang diketahui. 

Platform murabahah telah dipraktikkan pada zaman sebelum Islam, terdapat dalam al-Muwatta’ merupakan kitab pertama Imam Malik yang mencatat berbagai hadis Nabi Muhammad SAW. Menurut Imam Mâlik, murabahah dilakukan dan diselesaikan dengan pertukaran antara barang dengan harga, termasuk margin keuntungan yang telah disetujui bersama pada saat itu dan di tempat itu oleh kedua belah pihak. 

Platform Murabahah dalam jual dan beli ini menekankan mengenai harga jual dengan keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak baik itu penjual atau pembeli. Selain itu, jumlah dan jenis produknya juga diperjelas secara mendetail. Nantinya, produk akan diserahkan setelah akad selesai. Untuk pihak pembeli, bisa menunaikan kewajibannya secara cicilan sebagaimana pendapat Imam Syâfii dalam kitab al-Umm bahwa konsep pelaksanaan murabahah dapat dilakukan secara kredit atau membayar kontan.

Platform Murabahah sangat cocok digunakan dalam kerja sama antar mitra bisnis atau perdagangan yang menggunakan sistem permodalan lebih dari satu orang, dengan platform ini para mitra usaha dapat dengan jelas mengukur keuntungan yang akan mereka dapatkan dari hasil penjualan barang atau jasa bisnis mereka. 

  1. Salam (السلام)


Salam adalah akad jual dan beli berdasarkan cara pemesanan. Prosesnya, pembeli akan memberi uang terlebih dahulu untuk membeli barang yang spesifikasinya sudah dijelaskan secara rinci, lalu baru produk akan diserahkan atau dikirim

Para ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanbali mendefinisikan akad salam sebagai akad atas sesuatu yang disebutkan sifatnya dalam perjanjian dengan tempo dan harga yang disepakati lalu dibayarkan terlebih dahulu. Agar lebih mudah memahami akad salam dalam bertransaksi penulis akan memberikan contoh praktik jual dan beli dengan akad salam sebagai berikut. 

 

Pre Order, dalam transaksi jual dan beli pada sistem ini, seorang penjual menawarkan barangnya dengan spesifikasi dan sifat-sifatnya di suatu marketplace online atau pasar tradisional dengan ketentuan barang akan datang dalam tempo 2 minggu setelah pembayaran diselesaikan oleh pembeli. ketika penjual dan pembeli telah sepakat dan pembeli telah membayar barang tersebut, maka penjual wajib memenuhi kesepakatan sesuai akad yang disepakati di antara kedua belah pihak dengan ketentuan dan sifat-sifatnya.

Pada platform salam ini, penjual mendapat jaminan tidak merugi karena uang pembelian telah ia terima terlebih dahulu, penjual wajib menunaikan amanah untuk mengantarkan barang jualannya kepada pembeli sesuai waktu atau tempo yang telah disepakati, karena barang tersebut telah berpindah kepada pembeli. Jika penjual berkhianat maka penjual mendapatkan dosa dan berkewajiban mengembalikan uang tersebut. 

Dalam akad salam ini status penjual seperti “berutang” kepada pembeli. Menurut Mazhab Maliki, salam adalah akad jual beli di mana modal (harga) dibayar di muka, sedangkan barang diserahkan di belakang. 

Jadi salam adalah salah satu bentuk jual beli di mana uang harga barang dibayarkan secara tunai, sedangkan barang yang dibeli belum ada, hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya sudah disebutkan pada waktu perjanjian seperti jual dan beli secara online yang banyak kita temukan di marketplace online saat ini. 

  1. Istishna’ (الإستصناع)

Istishna’ secara bahasa berarti meminta untuk dibuatkan sesuatu.

Istishna’ sendiri adalah akad yang mengatur transaksi produk dalam bentuk pemesanan di mana pembuatan barang akan didasari dari kriteria yang disepakati di antara kedua belah pihak, dalam proses transaksi pembeli diperbolehkan mengajukan permintaan terkait sifat atau spesifikasi produk yang akan di pesan tersebut.

Dalam akad ini, proses pembayarannya juga sesuai kesepakatan dari pihak yang berakad, baik itu dibayar ketika produk dikirim atau dibayar di awal seperti akad salam.

Menurut jumhur ulama, hukum transaksi istisnâ’ hukumnya boleh, begitu pula pendapat ahli fiqih Hanafiah, jual beli istisna’ diperbolehkan karena telah lama menjadi kebiasaan (‘urf) yang mengandung unsur kebaikan (istihsan). Jadi hikmah dibolehkannya jual beli istisna’ ini  karena keberadaannya telah menjadi keperluan manusia.

  1. Musyarakah (المشاركة)

Akad Musyarakah ini berasal dari kata syirkah (keterlibatan/ bercampur). Dengan pengertian yang sederhana Musyarakah adalah bercampurnya suatu harta dengan harta yang lain sehingga keduanya tidak dapat dibedakan, jika dilakukan dalam bentuk  membuat usaha, maka harta tersebut telah menjadi modal bersama.

Musyarakah sering digunakan dalam kongsi modal dalam mendirikan sebuah usaha, dengan ketentuan dan syarat yang telah disepakati antara pemilik harta tersebut. Begitu pula sistem perdagangan yang akan mereka jalankan ke depan diambil secara bersama melibatkan masing-masing pemilik harta, kerugian dan keuntungan adalah tanggung jawab bersama sesuai kesepakatan yang mereka buat di awal ingin memuali usaha tersebut. 

Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa: 12 yang menjadi landasan hukum akad musyarakah 

…..فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ……

“…..maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…..”

Platform transaksi secara Musyarakah dalam syari’at islam telah dikelompokkan menjadi 2 jenis syirkah yaitu : 

  • syirkah amlak (kongsi harta) 

  • syirkah uqud (kongsi transaksi) 

Syirkah amlak adalah bentuk persekutuan di antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan harta yang diperoleh tanpa disertai akad. Syirkah amlak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

  • syirkah ikhtiyar (sukarela) yaitu syirkah yang lahir atas kehendak dua pihak yang bersekutu. 

  • syirkah jabar (paksa), yaitu persekutuan yang terjadi di antara dua orang atau lebih tanpa kehendak mereka. 

Hukum kedua jenis syirkah ini bagaikan pihak asing atas sekutunya yang lain. Sehingga, salah satu pihak tidak berhak melakukan tindakan apapun terhadap harta tersebut tanpa izin dari yang lain, karena masing-masing sekutu tidak memiliki kekuasaan atas bagian saudaranya. Syirkah ‘uqud adalah bentuk persekutuan di antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan suatu usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.

  1. Mudhorobah (المضاربة)

Akad Mudhorobah secara bahasa berarti saling bergerak, saling pergi, atau saling menjalankan atau saling memukul. Namun dalam praktik jual dan beli Mudharabah yang berasal dari kata , ضارب berarti saling menggerakkan suatu usaha.

Istilah Mudharabah dengan pengertian ini sering  digunakan oleh penduduk Irak. Sedangkan penduduk Hijaz menggunakan istilah qiradh, yang diambil dari kata qardh (قرض) yang artinya al-qat’u (القطع)  yakni memotong. 

Dinamakan demikian, karena pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan oleh penggerak usaha dan memperoleh keuntungannya. Praktik seperti ini dikenal sebagai “al-muqaradhah” yang berarti sama rata karena masing-masing berkongsi modal dan akan turut sama mendapatkan keuntungan dari suatu perniagaan yang dijalankan. 

Mudharabah dalam pengertian sederhananya adalah akad yang berlaku antara dua pihak dengan syarat salah seorang dari keduanya menyerahkan sejumlah uang kepada pihak yang lain untuk didagangkan dan keuntungan yang diperoleh dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.

Akad ini lebih mengatur antara shahibul mal atau pemilik modal dengan mudharib-nya, atau pengelola modal. Nantinya, pengelola modal dan pemilik modal akan membagi hasil keuntungan dari usaha yang dilakukan. Jika ada kerugian dalam perjalanan perdagangan tersebut (diluar kelalaian pengelola seperti hilang dan lainnya),maka hanya pemilik modal yang menanggung kerugiannya.

Praktik akad Mudharabah dalam jual dan beli sesuai dengan ajaran Islam menggunakan landasan hukum atas dasar firman Allah Swt dalam Q.S. al-Muzammil : 20 

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ

“…….dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah….”

dan Allah juga telah berfirman dalam Q.S. al-Jumu’ah : 10

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

nabi muhammad Saw telah bersabda : 

“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli tangguh, muqaradah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan bukan untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah). 

Bagikan
Saksikan Video Dibawah Ini :
"Pembagian Sembako Tahap Dua - Kuat Ditengah Corona"
Scroll to Top