Penyebab Cacatnya Transaksi Jual dan Beli Menurut Hukum Islam

Pasar Yang Sepi Pembeli (Gambar : oleh TheUjulala dari Pixabay)
Bagikan
  1. Pendahuluan

 

Ajaran Islam telah menghalalkan praktik jual dan beli bagi seluruh pemeluknya, hal ini didasari dari dalil-dalil qurani dan hadis Rasulullah SAW. Praktik jual dan beli yang dihalalkan oleh Islam tidak lepas dari rukun dan syarat-syaratnya, setiap muslim yang  hendak melakukan transaksi baik itu penjualan atau pembelian suatu produk yang berbentuk barang maupun jasa, wajib memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. 


Jika salah satu dari rukun atau syarat-syaratnya tidak terpenuhi, maka status transaksi yang dilakukan oleh pembeli dan penjual tersebut batal, dan hukum harta yang dihasilkan dari transaksi tersebut menjadi haram. Seperti perdagangan daging babi, di dalam Islam jual dan beli dapat dikatakan sah apabila produk yang dijual berstatus halal atau tidak diharamkan di dalam Islam, atau penjual menjual barang dagangannya kepada anak kecil yang belum akil baligh (belum mengetahui transaksi jual dan beli secara baik dan benar) maka hukum jual belinya menjadi batal dan tidak halal.


Itu lah pentingnya memahami ilmu fiqih muamalat dalam  pembahasan jual dan beli, agar ketika melakukan aktivitas tersebut seseorang terhindar dari kecacatan transaksi yang membuat perdagangan batal dan harta yang dihasilkan menjadi haram. 


Namun, tahukah sahabat, bahwa terdapat pula unsur-unsur yang bisa menyebabkan sebuah transaksi jual dan beli seseorang menjadi haram, meski seluruh rukun dan syarat-syarat dari jual dan beli telah terpenuhi? 


Dalam artikel ini penulis akan memaparkan secara sederhana unsur-unsur tersebut yaitu: 


  1. Terdapat unsur Ribawi dalam transaksi

  2. Terdapat unsur Gharar dalam transaksi

  3. Terdapat unsur Zhalim dalam transaksi. 

Penjelasan 3 (tiga) unsur di atas akan dipaparkan  dengan sentuhan dalil-dalil syar’i dan fatwa dari para ulama. Pastikan sahabat dalam posisi yang sangat nyaman agar ketika membaca artikel ini sahabat dapat menyerap manfaat sebanyak mungkin dan dapat dipraktikkan dalam kehidupan sahabat sehari-hari. Selamat membaca!

B.   Apa itu Ribawi

Mungkin sahabat telah familiar dengan kata Riba atau Ribawi karena mayoritas dari masyarakat muslim di Indonesia sudah akrab dengan kata itu.

Namun tidak dipungkiri pula bahwa banyak dari mereka yang belum mengetahui apa itu transaksi Ribawi. Buat Anda yang sudah mengikuti program INSANI Series bersama Dr. Abdul Rochim, MA. artikel ini bisa menjadi bahan pengulangan sahabat dari ilmu yang sudah didapat pada Shifting Class kemarin, dan tentunya ilmu baru buat Anda yang belum mengetahui sama sekali apa itu praktik ribawi. 


Riba menurut Ahli Fuqaha (pakar dalam bidang ilmu fiqih) adalah memberi tambahan dalam hal-hal yang khusus. Dalam pendefinisian yang lebih luas riba adalah akad pertukaran barang tertentu dengan tidak diketahui (bahwa kedua barang yang ditukar) itu sama (sejajar dari jenis dan sifat-sifatnya) dalam pandangan syari’at, baik dilakukan saat akad berlangsung ataupun dengan menangguhkan (mengakhirkan) dua barang yang ditukarkan atau salah satunya. Sebagaimana yang ter-maktub dalam kitab Mughnil Muhtaj karangan sykeh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khatib al-Syarbini dari kalangan mazhab Syafi’i. 


Setiap transaksi muamalat seperti jual dan beli, piutang dan yang lainnya mengandung unsur-unsur ribawi di dalamnya, maka hukum transaksi tersebut menjadi haram dan pelakunya berdosa atas perbuatan tersebut. 


Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. Al-baqarah: 278: 


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ayat ini diturunkan tatkala sebagian sahabat masih juga menuntut riba di masa lalu, walaupun riba itu sudah dilarang)

Allah SWT juga telah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 275:


الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Ayat-ayat di atas menyerukan kepada  orang-orang yang beriman, agar mereka  bertakwa kepada Allah SWT dan perintah untuk meninggalkan segala bentuk perbuatan riba dan hasil dari riba, maksudnya jauhilah sisa yang tinggal dari riba, jika mereka beriman kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya, karena sifat atau ciri-ciri orang beriman adalah mengikuti perintah Allah SWT. 

Adapun dalil hadits, banyak sekali didapatkan hadits-hadits yang mengharamkan riba. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

 لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulisnya dan dua saksinya,” dan beliau bersabda, “mereka semua sama.”

Dalam hadits yang sudah disepakati keshahihannya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ ! وَذَكَرَ مِنْهُنَّ: آكِلَ الرِّبَا. 

“Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran,” dan beliau menyebutkan di antaranya, “Memakan riba.”

Adapun riba terbagi dalam beberapa jenis bagian: 

  1. Riba Nasi’ah 

Penambahan yang disebutkan dalam sebuah kesepakatan atau perjanjian saat melakukan transaksi tertentu seperti barter (pertukaran barang) sebagai imbalan atas ditundanya suatu pembayaran. 

  1. Riba Fadhl 

Penambahan yang terjadi pada transaksi tukar menukar barang yang sejenis, seperti barter emas dengan emas dengan emas, atau gandum dengan gandum. 

  1. Riba Al-Yad 

Riba ini terjadi dalam transaksi jual dan beli atau yang terjadi dalam penukaran barang. Penukaran tersebut terjadi tanpa adanya kelebihan, namun salah satu pihak yang terlibat meninggalkan akad, sebelum terjadi penyerahan barang atau harga.

  1. Riba Qardh

Riba ini terjadi dalam praktik utang piutang yaitu dengan mengambil manfaat atau penambahan jumlah tertentu yang disyaratkan kepada penerima utang atau muqtaridh.

  1. Riba Jahiliyah 

Riba ini adalah bagian dari riba utang piutang yang telah menjadi kebiasaan orang-orang jahiliyah dahulu yaitu penambahan utang lebih dari nilai pokok dalam utang piutang karena penerima utang tidak mampu membayar hutangnya secara tepat waktu. Karena jatuh tempo dan tidak bisa membayar utang maka penerima hutang akan mendapatkan penambahan atau dengan kata lain utang tersebut berbunga.

Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, semua bentuk dan jenis riba di atas hukumnya haram, dan wajib bagi umat Islam untuk menjauhi perbuatan riba dengan penuh kesungguhan, karena riba sangat menjerumuskan pelakunya pada perbuatan dosa yang menghilangkan berkah pada rizki dan menjauhkan dari rahmat Allah SWT.

C. Apa Itu Gharrar ?

Kata gharar berarti khayalan atau penipuan, tetapi juga bisa diartikan risiko. Dalam sektor keuangan biasanya diterjemahkan sebagai hal yang tidak menentu, spekulasi, atau risiko. 

Dalam praktik jual dan beli, gharar lebih mudah dipahami dengan analogi berikut, seseorang yang melakukan pembelian ikan yang telah ditransaksikan sejak 2 bulan sebelum panen dilakukan, tanpa kejelasan pasti jumlah dan sifat-sifat ikan pada saat pemanenan dilakukan, atau seseorang yang membeli buah mangga yang masih berbentuk bunga dan akan diambil ketika panen dilakukan. 

Gharar hukumnya haram di dalam Islam dan menjadi penyebab cacatnya sebuah transaksi jual dan beli seseorang. Mengapa demikian? Karena gharar berpotensi memberikan dampak keuntungan atau kerugian hanya kepada salah satu dari kedua belah pihak. 

Keuntungan yang terjadi dari kesempatan yang penyebabnya tak dapat ditentukan adalah dilarang karena mengandung risiko yang terlampau besar dan tidak pasti. Gharar dilarang dalam Islam bukan untuk menjauhi risiko. Tentu saja risiko yang sifatnya komersial disetujui dan didukung dalam Islam. Setiap jenis kontrak yang bersifat open-ended mengandung unsur gharar.

Karakteristik Gharar

Konsep gharar yang diharamkan dalam ajaran Islam itu terbagi menjadi dua karakter:

  1. Unsur risiko yang mengandung keraguan, probabilitas, dan ketidakpastian secara dominan. 

  2. Unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

Kriteria Gharar yang Diharamkan

Pertama, gharar menjadi haram ketika nisbah (kadar) gharar dalam akad besar. Gharar yang sedikit dan tidak dapat dihindari maka tidaklah masalah, jika gharar dalam akad hanya sebagai pengikut, tidak merusak keabsahan akad. Seperti menjual binatang ternak yang bunting, binatang ternak yang menyusui, dan pohon yang berbuah belum matang, hukumnya dibolehkan. Walaupun janin, susu, dan sebagian buah tersebut tidak jelas pastinya, karena keberadaannya dalam akad hanya sebagai pengikut dan bukan tujuan dalam akad jual beli.


Kedua, akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak. Maka, masih dibolehkan menjual wortel, bawang, umbi-umbian, dan menjual barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti semangka dan telur, sekalipun terdapat gharar karena kebutuhan orang banyak.

Ketiga, Gharar yang diharamkan adalah yang terjadi pada akad jual beli. Jika gharar terdapat pada akad hibah, wasiat, sedekah maka tidak mempengaruhi keabsahan akad. Ada kaidah yang menyatakan, “Tidak ada gharar dalam akad tabarru’aat (akad sosial yang tidak ada kompensasi).

Dalil-Dalil Diharamkannya Gharar

Al-Qur’an dengan tegas telah melarang semua transaksi jual dan beli yang mengandung unsur ketidakjelasan dalam segala bentuk, apalagi terdapat unsur penipuan atau kejahatan yang terencana agar memperoleh keuntungan secara sepihak atau risiko yang menuju ketidakpastian di dalam suatu bisnis atau sejenisnya. 

Allah SWT berfirman dalam Q.S. A-An’am : 152

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”

Gharar hukumnya dilarang dalam Islam, oleh karenanya melakukan transaksi atau memberikan syarat dalam akad yang ada unsur ghararnya hukumnya tidak boleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa:

Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar. (H.R. Bukhari Muslim).

D. Apa itu Zhalim ?

Zhalim merupakan perbuatan yang di murkai oleh Allah SWT dan salah satu perbuatan yang digolongkan dalam dosa-dosa besar. Zhalim dapat terjadi dalam semua aspek kehidupan, seperti zhalim kepada Allah SWT dengan tidak bertaqwa, zhalim kepada Rasulullah SAW dengan tidak menjadikannya sebagai teladan dalam kehidupan. Kezhaliman juga sering terjadi pada praktik-praktik muamalat terkhusus jual dan beli. 

Secara bahasa, zhalim atau azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Disebutkan dalam Lisaanul Arab:

الظُّلْمُ : وَضْع الشيء في غير موضِعه

Azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya”

Secara istilah, zhalim artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebihi batas. Lawan dari zhalim adalah adil yang berarti menempatkan sesuatu sesuai pada porsi dan tempatnya. 

Perbuatan zhalim yang terjadi pada praktik jual dan beli sangat mudah sekali ditemukan. Contohnya saja kecurangan dalam timbangan, mencampur buah-buahan yang busuk dengan buah yang segar, menjual barang dengan harga yang sangat tinggi di saat kelangkaan barang tersebut, mengambil untung terlalu banyak dengan ghoban (pengelabuan) atau membungkus kekurangan suatu produk dengan cover yang menarik yang biasa kita kenal dengan istilah kitman aib (menyembunyikan aib produk) sehingga barang tersebut dibeli oleh orang lain.

Walaupun rukun dan syarat jual beli dipenuhi, namun jika di dalam proses transaksinya terdapat unsur kezhaliman maka status jual dan beli tersebut menghasilkan harta yang haram kepada pelaku zhalim dan mendapatkan dosa. 

Dalil-Dalil diharmkannya Perbuatan Zhalim dan Ancaman Dosa Kepada Pelakunya

Perbuatan zhalim terlarang dalam Islam. Terdapat banyak sekali ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mencela dan melarang perbuatan zhalim. 

Allah ta’ala berfirman :

أَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim” ( QS. Hud: 18) 

مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ 

Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir: 18).

إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ 

“Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21).

Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil-dalil dari As Sunnah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قال الله تبارك وتعالى: يا عبادي، إني حرمت الظلم على نفسي، وجعلته بينكم محرمًا؛ فلا تظالموا

Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman: ‘wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan kezaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezhaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zhalim’” (HR.  Muslim no. 2577).

Beliau juga bersabda: 

اتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ

“Jauhilah kezhaliman karena kezhaliman adalah kegelapan di hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).

المسلم أخو المسلم، لا يظلمه، ولا يسلمه

“Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya” (HR. Muslim no. 2564).

Dan dalil-dalil yang mencela dan melarang perbuatan zhalim datang dalam bentuk muthlaq, sehingga perbuatan zhalim dalam bentuk apapun dan kepada siapa pun terlarang hukumnya. Bahkan kepada orang kafir dan kepada binatang sekalipun, tidak diperkenankan berbuat zhalim.

Penuhilah rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam, hindarilah unsur-unsur ribawi, gharar, dan zhalim pada transaksi jual dan beli, berskiaplah adil dan senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT di manapun Anda berada. Pastikan nilai-nilai Islam mewarnai di setiap praktik-praktik bisnis kita dan jangan lupa berdoalah kepada Allah SWT agar dilapangkan dan diberikan keberkahan pada harta yang diusahakan.

Bagikan
Saksikan Video Dibawah Ini :
"Lawan Corona: Bantu Mereka yang Belum Bisa #dirumahaja"
Scroll to Top